Al Siddiq International School

November 2022

Edukasi

Tahukah Orang Tua Kata-kata Ini Bisa Menyakiti Anak

Perlu disadari bahwa pentingnya sebagai orang tua memiliki kesiapan parenting guna bisa berkomunikasi yang baik dengan anak sehingga, dapat melahirkan anak yang berperilaku positif. Orang tua sering tak menyadari terkadang kata-kata yang diucapkan menyakiti hati anak-anak mereka dan parahnya anak dapat merekam sepanjang hidupnya. Jadi bagaimana orang tua bisa menjadikan anak-anaknya berperilaku positif kalau dari orang tuanya sendiri yang membuat mereka menjadi berperilaku negatif. Mengutip dari Mommies Daily 8 kalimat menyakitkan bagi orang tua yang akan teringat anak hingga mereka dewasa. 1. Menyesal telah melahirkan si anak – Mama/Papa ??menyesal pernah melahirkan kamu. – Kalau tahu kamu kayak gini mending dulu mama gugurin. – Seandainya tahu kamu akan seperti ini, abis melahirkan mendingan dibuang aja. 2. Membanding-bandingkan – Kenapa sih kamu kok nggak bisa seperti adik/kakak kamu? Mereka tuh hebat lho. – Masa begitu aja kamu nggak bisa, padahal anak-anak lain bisa. – Malui-maluin orang tua aja deh, kok kalah sama anaknya tante A. 3. Menyumpahi masa depan anak – Mama doain hidup kamu susah dan nggak bakal maju, biar tahu rasa kamu! – Moga-moga nanti kamu mandul, jadi nggak punya anak dan nggak ngerasain apa yang mama rasakan sekarang. – Lihat aja nanti, nggak ada yang mau sama kamu, jadi anak kok nyebelin banget. 4. Melabeli anak dengan kata-kata kasar atau terlarang – Dasar keset suami, apa-apa kok ngikutin apa kata suami. – Tolol banget sih, kepala ada otaknya atau nggak ada? – Tingkah laku kok kaya tempat sampah, dekat sama cowok-cowok. 5. Tidak yakin dengan kemampuan anak – Yakin kamu bisa? Kok papa nggak yakin tuh kamu mampu. – Ah kalau berhasil juga palingan karena kamu beruntung aja, bukan karena kamu mampu. – Mana mungkin kamu bisa sesukses si A, secara kualitas aja kamu udah jauh di bawah dia. 6. Kalimat menyakitkan yang menganggap anak berhutang budi pada orang tua – Kamu sudah bagus disekolahkan tinggi-tinggi, harusnya berterima kasih bukannya melawan orang tua. – Mama bisa aja nggak melahirkan kamu lho, tapi mama tetap melahirkan kamu jadi seharusnya kamu itu bersyukur. – Ya ini kan sudah jadi tanggung jawab kamu, hitung-hitung biaya orang tua besarkan kamu dulu. 7. Menyalahkan anak atas kondisi yang dialami orang tua – Dulu itu mama berhenti kerja demi kamu, kalau seandainya mama nggak berhenti kerja, kondisi mama nggak akan seperti ini. – Mama ditinggal papa karena kamu sering bikin mama stres, jadinya mama marah-marah dan papa nggak tahan sama mama. 8. Kalimat menyakitkan yang mengikat-bandingkan hidup anak dengan hidup orang tua – Kamu nggak tahu apa yang ibu dan bapak alami dulu, kalau kamu yang belum tentu kamu bisa seperti kami. – Halah, dulu ibu nggak kerja, cuma bapak yang kerja, tapi bisa tuh beli rumah. Kamu udah suami istri kerja, rumah kok masih ngontrak. – Mama dulu nggak RT, urus anak sendiri, semua beres. Kamu begini aja nggak bisa. Sebagian besar yang bercerita adalah orang dewasa dengan rentang usia 21 hingga 45 tahun. Belas hingga puluhan tahun dari kalimat yang diucapkan oleh orang tuanya, mereka masih ingat dengan sangat baik dan masih membekas sakit yang mereka rasakan di zaman dulu. Banyak dari mereka yang membawa luka itu tanpa tahu bagaimana cara mengobatinya. Berharap bahwa waktu akan pulih. Ternyata belum tentu. Tak jarang, trauma masa lalu itu membayangi cara mereka membesarkan anak di masa kini.

Edukasi

Mengenal Kurikulum Prototipe dengan Segala Keunggulannya

Kurikulum Prototipe merupakan metode pembelajaran yang di gagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)  sejak tahun 2013. Sangat disayangkan kurikulum prototipe belum menjadi kurikulum nasional, dan penerapannya baru dibeberapa sekolah saja. Sehingga, masih banyak orang tua yang belum mengetahui tentang kurikulum tersebut. Padahal kurikulum prototipe memiliki keunggulan yang bagus untuk anak-anak. Maka dari itu orang tua perlu mengenali kurikulum prototipe. Seperti apa kurikulum tersebut, mari kita simak bersama. Apa itu Kurikulum Prototipe? Dilansir dari laman Direktorat Sekolah Dasar , Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kini memberikan pihak sekolah tiga opsi kurikulum yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran mulai tahun 2022-2024 mendatang. Salah satunya adalah kurikulum peluru. Prototipe kurikulum adalah kurikulum berbasis kompetensi yang bertujuan mendukung pemulihan proses pembelajaran dengan menerapkan sistem pembelajaran berbasis proyek ( Project Based Learning ). Tujuan pembelajarannya adalah untuk mendukung pengembangan karakter anak sesuai dengan profil pelajar pancasila. Dalam kurikulum ini, masing-masing sekolah memberikan keleluasaan untuk memberikan para siswanya proyek-proyek pembelajaran yang relevan dan dekat dengan lingkungan sekolah. Supriyatno, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Perbukuan Kemendikbudristek, mengatakan bahwa hingga saat ini prototipe kurikulum sudah diterapkan di 2.500 sekolah. Semua sekolah tersebut sudah tergabung dalam program Sekolah Penggerak tahun 2021. Namun mulai tahun 2022 ini, sekolah-sekolah yang tidak termasuk dalam sekolah penggerak akan diberikan pilihan untuk bisa menerapkan kurikulum ini dalam proses belajarnya. “Tidak ada seleksi sekolah mana yang akan menggunakan kurikulum ini, tetapi yang kami lakukan hanya pendaftaraan dan pendataan. Sekolah-sekolah dapat menggunakan kurikulum kurikulum secara sukarela tanpa seleksi,” jelas Supriyatno saat hadir dalam Sosialisasi Kurikulum dalam rangka Pemulihan Pembelajaran di Kantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Bengkulu, Senin (17/1), dikutip dari Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Nanti di tahun 2024, Kemendikbudristek baru akan menetapkan kebijakan mengenai kurikulum mana yang akan dijadikan kurikulum nasional untuk pemulihan pembelajaran. Pilihannya antara tiga opsi yang sudah disediakan sebelumnya. Adapun kelebihan yang dimiliki oleh kurikulum prototipe. Keleluasan yang diberikan kepada sekolah dalam kurikulum ini akan sangat menguntungkan, baik untuk siswa maupun guru. Karena menerapkan sistem pembelajaran berbasis proyek, guru tidak lagi diburu oleh materi pembelajaran yang padat. Dengan begitu waktu belajar anak juga tidak terlalu padat. Guru-guru juga bisa lebih fokus pada pemberian materi esensial yang berorientasi pada kebutuhan dan penguatan karakter siswa. Selain itu, pada kurikulum ini metode pembelajarannya juga lebih bervariasi dan didukung situasi belajar yang lebih menyenangkan bagi guru dan siswa. Para guru pun memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi potensi siswa siswinya lewat beragam inovasi pembelajaran. Supriyatno menambahkan bahwa proyek berbasis pembelajaran dianggap sangat penting untuk pengembangan karakter siswa karena mereka mendapat kesempatan untuk belajar melalui pengalaman atau experiential learning . Para orang tua juga harus tahu bahwa kurikulum prototipe ini mengacu pada nilai-nilai Pelajar Pancasila. Jadi, saat siswa belajar kepedulian terhadap lingkungan dengan cara menanam tumbuhan, saat itu juga mereka belajar tentang pentingnya kerjasama. Dalam satu proyek, akan sangat memungkinkan anak mempelajari beberapa materi, dan mungkin saja lintas pelajaran. Selain bekerja sama, anak-anak juga akan belajar langsung bagaimana bertoleransi, saling menjaga, dan nilai-nilai Pancasila lainnya. Kurikulum ini berorientasi memberikan ruang kepada anak-anak untuk berkreasi dan mengembangkan potensi belajar sehingga mereka merasa menemukan makna dari proses tersebut dan dapat memecahkan masalahnya sendiri secara mandiri maupun berkelompok. Hal itu akan dikembangkan secara utus sisi akademik dan nonakademiknya. 

Edukasi

Kecemasan juga Terjadi Pada Anak-anak, Ini Cara Mengatasinya

Berbicara soal kecemasan sebagian besar dimiliki oleh orang dewasa, terutama bagi mereka yang sudah menjadi orang tua. Banyak hal yang dikhawatirkan setelah menjadi orang tua. Orang tua sering sibuk dengan kecemasannya sendiri. Padahal kecemasan juga dapat terjadi pada anak-anak. Pernahkah para orang tua memperhatikannya? seperti apa kecemasan yang ada pada anak, apakah orang tua memahaminya? Kecemasan pada anak sering terlihat perbedaan sikapnya saat berada di lingkungan baru atau bahkan saat berada disekitar orang lain selain orang tuanya. Kecemasan itu muncul seperti bentuk suatu keengganan atau penolakkan untuk anak berada di sana. Sebagaimanapun itu perlu sangat diperhatikan, karena masa menjadi anak-anak adalah waktu yang menyenangkan tanpa beban ketakutan tentang hal-hal buruk yang terjadi untuk masa depannya. Jika anak mengalami kecemasan terus-menerus, berikut beberapa hal yang disarankan para ahli untuk orang tua ingat. 1. Akui Bahwa Kecemasan Anak Nyata. Di generasi sebelumnya, seorang anak yang bergumul dengan kecemasan kemungkinan besar disuruh “mengatasinya” atau “bangkit” oleh orang tua, yang mungkin benar-benar percaya bahwa mereka memberikan pelajaran hidup yang penting.  Secara budaya, banyak hal telah berubah. Kami tahu sekarang bahwa trauma tidak akan hilang jika Anda tidak membicarakannya dan mengabaikan emosi yang kuat mungkin bukan cara terbaik untuk menghadapinya. Psikolog Cara Goodwin, yang menggunakan Parenting Translator di Instagram, mengutip dari HuffPost, “Pertama, penting bagi orang tua untuk memvalidasi dan berempati dengan kecemasan tersebut. Daripada menepis rasa takut anak Anda atau menjelaskan mengapa itu tidak rasional, akui bahwa kecemasan mereka ‘nyata’ dan pasti sulit untuk merasa seperti itu. Berbicara dengan anak Anda seperti ini tentang kecemasan mereka tidak akan membuat mereka lebih cemas. Minta mereka untuk memberi tahu Anda apa yang mereka khawatirkan, dan dengarkan tanggapan mereka dengan penuh perhatian sebelum memberikan saran untuk menyelesaikan masalah. 2. Beri Tahu Mereka bahwa Orang Tua yakin Mereka dapat Menangani Situasi Apapun yang Membuat Mereka Cemas. Setelah mengakui apa yang mereka rasakan, alih-alih membantu mereka menjauh dari situasi tersebut (yaitu, membiarkan mereka tinggal di rumah dari sekolah jika mereka merasa cemas untuk pergi), beri tahu mereka bahwa Anda yakin mereka memiliki kemampuan untuk mengelola ini dan melewatinya. situasi yang sulit. Goodwin menyarankan agar Anda mengatakan sesuatu seperti, “Saya dapat melihat bahwa ini benar-benar membuat Anda merasa gugup, tetapi saya tahu Anda dapat mengatasinya.” 3. Kenali Perbedaan antara Ketakutan Normal dan Kecemasan Bermasalah. Dari rasa takut yang kita rasakan saat merasakan ancaman dan adrenalin yang memberi kita ledakan energi untuk lari darinya berevolusi pada manusia untuk membuat kita tetap hidup. Namun terkadang sistem ini bekerja bahkan saat berhadapan dengan sesuatu yang jinak, seperti anjing tetangga atau pesta yang penuh dengan anak-anak. “Sistem saraf kita terhubung untuk bertindak dan membantu kita tetap aman dari bahaya. Ini sering membantu kita dalam melakukan hal-hal produktif untuk membantu mencapai tujuan dan aspirasi, tetapi kadang-kadang menyebabkan kecemasan,” kata Anne Marie Albano, seorang psikolog dan direktur klinis Pusat Kesehatan Mental Pemuda di New York-Presbyterian, dikutip dari HuffPost. Beberapa kecemasan akan perpisahan adalah hal yang normal, dan anak-anak juga biasa takut akan hal-hal seperti suara keras dan kegelapan. Dalam kebanyakan kasus, “dalam satu atau dua minggu, anak-anak harus dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan rutinitas dan aktivitas baru tanpa rasa takut atau kecemasan yang sama,” kata Albano. Untuk mengetahui apakah kekhawatiran anak Anda telah melampaui apa yang diharapkan, Anda dapat mengajukan pertanyaan berikut: ?Apakah kecemasan itu masuk akal mengingat situasinya, atau berlebihan? ?Apakah ketakutan mereka ditenangkan oleh kepastian dan dukungan Anda? ?Apakah kecemasan menjadi tidak terkendali? ?Apakah mereka mampu mengelola naik turunnya tantangan sehari-hari? Jika kecemasan terlalu berat untuk ditangani anak Anda, bahkan dengan dukungan Anda, dan mengganggu kehidupan mereka, inilah saatnya untuk mencari dukungan dari ahli kesehatan mental. 4. Libatkan Mereka dalam Pemecahan masalah. Albano merekomendasikan untuk bertanya kepada anak Anda, “Apa yang ingin Anda lakukan untuk mengatasi situasi ini?” Sekali lagi, biarkan mereka mengomunikasikan ide-ide mereka dan jangan langsung menyampaikan ide Anda.  Jika Anda mendorong mereka untuk terus berbicara, mungkin dengan menimbang pro dan kontra dari kemungkinan yang berbeda, mereka mungkin dapat menghasilkan rencana yang solid tanpa banyak masukan dari Anda. Anda dapat menawarkan dukungan dengan menyatakan persetujuan atas rencana yang mereka pilih. “Ingatkan anak Anda tentang situasi serupa yang pernah mereka tangani di masa lalu,” saran Albano. Membiarkan anak Anda menghadapi ketidakpastian adalah bagian penting dari pertumbuhan mereka. “Banyak situasi… meskipun tidak nyaman untuk sesaat, tidak berbahaya. Sebagian besar situasi ini membuat anak Anda belajar dan mengembangkan keterampilan mengatasi dan memecahkan masalah yang akan membantu mereka seumur hidup, ”kata Albano. Dia menyarankan untuk melihat diri Anda sebagai penasihat anak Anda daripada seseorang yang membersihkan jalan dari semua rintangan bagi mereka. 5. Bantu Mereka Mengambil Langkah Demi Langkah. Tentu saja, Anda harus menemui anak Anda di mana mereka berada dan membantu mereka bergerak selangkah demi selangkah dari titik A ke titik B.  Jika anak Anda takut air, Anda tidak akan melemparkannya begitu saja ke kolam dan menonton mereka mencari cara untuk berenang. Anda akan bergabung dengan mereka pada awalnya dan membantu mereka mempelajari keterampilan yang diperlukan. “Orang tua harus bekerja dengan anak-anak mereka untuk mengambil ‘langkah kecil’ menuju tujuan menghadapi ketakutan mereka. Orang tua kemudian harus memberi banyak perhatian dan memuji ‘perilaku berani’ anak mana pun, ”kata Goodwin. Pastikan untuk memberikan pujian ini terlepas dari hasilnya. “Fokuslah pada upaya anak Anda untuk mengelola situasi yang menakutkan bagi mereka dan bukan pada hasilnya,” kata Albano. Sekalipun mereka jatuh, soroti fakta bahwa mereka kembali ke sepeda. 6. Jangan Bantu Anak Anda Menghindari Pemicunya — Ini dapat Memperburuk Kecemasannya. Jika anak Anda akan belajar mengatasi kecemasannya, Anda tidak selalu bisa turun tangan dan menanganinya untuk mereka. “Kita tahu bahwa menghindari kejadian yang memicu kecemasan hanya akan memperburuk kecemasan dan membuat anak bergantung pada orang tua mereka untuk mengatasi situasi tersebut sehingga mereka tidak belajar keterampilan untuk mengatasi kecemasan mereka secara mandiri,” kata Goodwin. Orang tua dapat, misalnya, berbicara atas nama anak yang pemalu, menjawab pertanyaan berulang dari anak yang khawatir, atau menghindari situasi yang menurut mereka akan memicu kecemasan anak. Ketika Anda membantu anak-anak Anda menghindari situasi yang membuat mereka cemas, hal itu “memperkuat gagasan bahwa situasi tersebut adalah sesuatu yang harus mereka takuti (bahkan orang

Edukasi

Mengenali Bentuk Kekerasan di Sekolah

Untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah  tidaklah mudah karena didalamnya tidak hanya satu dua orang saja, melainkan ribuan orang tergabung dari Guru, Staff hingga murid. Salah satunya sekolah perlu mengenali bentuk kekerasan yang bisa terjadi. Hal tersebut guna melakukan pencegahan sebelum terjadi. Ada baiknya mencegah lebih baik daripada mengobati. Sehingga sekolah bisa menciptakan tempat belajar yang aman dan nyaman terutama bagi para murid dan terjaga nama baiknya juga. Indikator kekerasan dalam lingkungan pendidikan sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian. Sementara pada pasal 6 indikator kekerasan dalam lingkungan pendidikan yakni meliputi:  1. Pelecehan merupakan tindakan kekerasan secara fisik, psikis atau daring. 2. Perundungan merupakan tindakan mengganggu, mengusik terus-menerus, atau menyusahkan. 3. Penganiayaan merupakan tindakan yang sewenangwenang seperti penyiksaan dan penindasan. 4. Perkelahian merupakan tindakan dengan disertai adu kata-kata atau adu tenaga. 5. Perpeloncoan merupakan tindakan pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya. 6. Pemerasan merupakan tindakan, perihal, cara, perbuatan memeras. 7. Pencabulan merupakan tindakan, proses, cara, perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesopanan dan kesusilaan. 8. Pemerkosaan merupakan tindakan, proses, perbuatan, cara menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, dan/atau menggagahi. 9. Tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada SARA yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan. 10. Tindak kekerasan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Edukasi

Komik Ajarkan Edukasi pada Anak

Mungkin banyak bagi anak yang menganggap membaca adalah sesuatu hal yang sangat membosankan dikarenakan isinya hanya berupa banyak tulisan-tulisan saja. Namun tidak perlu khawatir untuk anak-anak yang tidak gemar membaca mungkin bisa mencoba memiliki opsi untuk memilih buku yang ada gambarnya seperti komik. Komik disajikan tidak hanya berupa tulisan saja, melainkan ada gambar-gambar yang mungkin bisa menarik perhatian anak. Adapun beberapa fungsi yang dapat diperoleh dari membaca komik. Mengutip jurnal berjudul Komik Sarana Promosi Kesehatan untuk Mengubah Cara Menggosok Gigi Anak Sekolah Dasar oleh I nyoman Panji Triadnya Palgunadi (2020), fungsi komik dalam dunia pendidikan yaitu sebagai berikut: 1. Media Hiburan Fungsi komik yang paling utama adalah sebagai media hiburan, baik untuk anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Hiburan yang disajikan dalam komik adalah berupa kumpulan gambar yang mempunyai alur cerita unik. Membaca sebuah komik mampu membangkitkan segala macam emosi, baik itu sedih, gembira, takut, hingga gelisah. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak orang yang membaca komik bisa tertawa terbahak-bahak hingga menangis tersedu-sedu. 2. Media Bahan Ajar Fungsi komik yang kedua adalah sebagai media bahan ajar. Seiring berjalannya waktu, komik tidak hanya digunakan sebagai hiburan saja, melainkan juga diimplementasikan dalam dunia pendidikan. Jika dulu komik tidak boleh dibawa ke sekolah karena dianggap mengganggu konsentrasi belajar siswa, lain halnya dengan masa kini yang justru diintegrasikan dalam dunia literasi. Komik dianggap sebagai media yang mampu membangkitkan motivasi belajar siswa. Oleh karena itu, beberapa materi dalam pelajaran tertentu diselipkan komik untuk menarik minat siswa. Tentunya, penerapan komik ini disesuaikan dengan bidang studi, tingkat pendidikan, maupun tujuan penggunaannya.

Edukasi

10 Pertanyaan Ini Bantu Orang Tua Agar Anak Terbuka

Tak banyak dari seorang anak mampu terbuka kepada orang tuanya dalam hal pendidikan, ya seperti hari-hari yang mereka lakukan selama berada di sekolah. Sehingga timbul menjadi pertanyaan bagaimana cara bisa membuat anak bercerita tentang kesehariannya itu. Hal tersebut pun menjadi sebuah pelajaran baru juga sebagai orang tua agar bisa menjadi tempat ternyaman   mereka. Para orang tua juga diperlukan jangan terlalu mendesak anak untuk bercerita saat baru sepulang sekolah karena akan memicu anak untuk malas bercerita. Mungkin bisa mengambil waktu yang lebih nyaman dan santai seperti saat makan bersama atau melakukan obrolan-obrolan kecil menjelang tidur. Pakar pengasuhan anak Inggris Kirsty Ketley berbagi tips untuk mendapatkan lebih banyak informasi dari anak-anak setelah mereka pulang dari hari yang panjang di kelas. Ada daftar 10 pertanyaan sederhana untuk ditanyakan ke anak dalam video yang dibagikan di Instagramnya bulan ini. 10 pertanyaan tersebut adalah: 1. Siapa yang mendapat masalah hari ini? Kirsty berkata, “Karena terutama anak-anak yang lebih muda sangat suka mengadu pada teman mereka!” 2. apa yang membuat kamu tersenyum hari ini? 3. Apa yang membuatmu tertawa hari ini? 4. Apa yang membuatmu sedih hari ini? 5. Siapa yang duduk di sebelah Anda saat makan siang? 6. Siapa yang membuat gurumu tersenyum hari ini? 7. Siapa yang membuat gurumu merasa kesal hari ini? 8. Siapa yang kamu bantu hari ini? 9. Siapa yang membantumu hari ini? 10. Apakah Anda mempelajari sesuatu yang tidak Anda ketahui sebelumnya? “Anda tidak perlu mengajukan semua 10 pertanyaan – hanya beberapa, sesering mungkin, cukup bagi seorang anak untuk terbuka,” kata Ketley. “Juga tidak perlu mencari tahu segalanya tentang hari anak Anda, jadi jika mereka tampak bahagia, jangan terlalu khawatir – sesulit mungkin,  tambah Ketley.

Edukasi

Orang Tua Perlu Tanyakan Ini Saat Ambil Rapor Anak

Orang Tua Perlu Tanyakan Ini Saat Ambil Rapor Anak Kabarnya ujian sekolah telah usai tinggal menunggu hasil tertulis yang biasa disebut pengambilan rapor. Yup, rapor yang selalu ditunggu-tunggu oleh para orang tua. Orang tua perlu mempersiapkan diri untuk siap menerima apapun hasil yang telah diperoleh sang anak selama belajar di sekolah. Tetapi, tahukah para orang tua bahwa hasil belajar di sekolah tidak hanya berpatok dalam nilai tertulis saja melainkan ada yang tidak tertulis seperti bagaimana perkembangan anak, sosialisasinya, keaktifan mereka, dan sederet hal lain. Untuk itu, para orang tua bisa menanyakan hal tersebut saat pengambilan rapor berlangsung kepada sang wali kelas ya. Lalu pertanyaan seperti apa yang cocok untuk diajukan? Simak penjelasannya mengutip dari laman Mommies Daily. 1.Nilai Rapor memang hasil laporan nilai anak selama proses belajar di sekolah. Sambil melihat hasil tertulisnya, Anda bisa sambil bertanya dibagian mana kelebihan dan kekurangan anak sehingga mendapatkan nilai tersebut.  Dengarkan masukan dari guru sebagai saran untuk Anda mencari solusi dan mendukung anak mencapai nilai yang lebih baik di semester depan. 2. Keaktifan dan Partisipasi Saat Belajar “Apakah anak saya aktif saat mempelajari kelompok?” atau “Apa dia ikut berpartisipasi jika ada tugas kelas?” Dari sini Anda bisa melihat bagaimana sikap dan perilaku anak ketika proses belajar mengajar.  Mungkin saja dia yang aktif saat di rumah malah terlihat pendiam di kelas. Perbedaan sikap tersebut bisa disebabkan oleh banyak hal dan dengan mengetahui fakta tersebut, Anda bisa lebih cepat mencari jalan keluarnya. 3. Kemampuan Anak Bersosialisasi Tanyakan juga pada wali kelas saat ambil rapor apakah anak mampu berbaur dengan teman-temannya di kelas. Lalu apakah dia bisa bekerja dalam kelompok dan pertanyaan seputar kemampuan bersosialisasi dengan anak lainnya. Jika anak mengalami kesulitan bersosialisasi, wali kelas pasti akan memberi tahu dan Anda bisa memberi bantuan untuk si kecil. 4. Hobi dan Potensi Anak di Sekolah Sebagai orang yang melihat anak selama di sekolah, wali kelas pasti bisa memahami potensi apa yang terbentuk pada si kecil. Tanyakan apakah hobi dan potensi yang ditampilkan anak di sekolah, sama dengan apa yang ditunjukkan di rumah atau sesuai harapan Anda.  Apa pun jawabannya, pilihan terbaik adalah dengan memberi dukungan dan memaksimalkan potensi tersebut dalam diri anak. 5. Sopankah Anak pada Orang Lain Sopan santunan adalah hal yang penting. Jangan sampai di depan Anda anak terlihat sopan tapi di belakang tidak. Tanyakan pada wali kelas anak apakah dia juga sopan saat di sekolah, baik pada orang yang lebih tua, seusianya, atau lebih muda.  Jika anak melaporkan kurang patuh atau tidak sopan, hal ini bisa jadi masukan Anda untuk mendidik anak jadi lebih baik. 6. Perubahan Aneh pada Diri Anak Wali kelas mungkin bisa jadi salah satu orang yang melihat perubahan, meskipun kecil, pada diri anak selama proses belajar atau di sekolah. Misalnya anak jadi lebih pendiam dari yang biasanya aktif, atau malah jadi semakin hiperaktif. Informasi ini dapat membantu Anda untuk lebih membangun komunikasi dengan anak dan mencari tahu alasan perubahan tersebut. 7. Apa Dukungan dan Saran yang Harus Dilakukan ke Depan Tak ada salahnya meminta saran dari wali kelas untuk kemajuan belajar anak di sekolah dan masa depannya. Sebab wali kelas jadi ibu yang juga mengenal si kecil dengan baik. Masukan dan kritik dari mereka bisa dijadikan pembelajaran Anda mendidik anak semakin sempurna.

Edukasi

Orang Tua Stop Tekan Akademis Si Anak

Terkadang masih banyak para orang tua yang terobsesi memiliki anak yang pintar dan harus mendapatkan  juara kelas agar bisa dibanggakan. Sehingga para orang tua sering tidak menyadari melakukan penekanan akademis si anak dalam pendidikan seperti terlalu banyak mengatur sang anak untuk bisa memperoleh nilai yang bagus. Padahal anak juga membutuhkan ruang untuk bisa menjadi dirinya sendiri agar bisa mengetahui porsi mereka sampai sejauh mana dalam memperoleh nilai akademis. Mengutip dari laman resmi Stanford dan menurut studi baru yang dipimpin oleh Jelena Obradovi?, seorang profesor di Stanford Graduate School of Education, yang diterbitkan 11 Maret 2021 di “Journal of Family Psychology” , ternyata terlalu banyak arah orang tua terkadang bisa menjadi kontraproduktif. “Terlalu banyak keterlibatan secara langsung dapat mengorbankan kemampuan anak-anak untuk mengendalikan perhatian, perilaku, dan emosi mereka sendiri. Ketika orang tua membiarkan anak-anak memimpin interaksi mereka, anak-anak melatih keterampilan pengaturan diri dan membangun kemandirian”, jelas Obradovi? yang juga mengarahkan Stanford Project on Adaptation and Resilience in Kids (SPARK). Obradovic juga menjelaskan bahwa orang tua harus belajar menarik diri. Maksudnya adalah orang tua juga harus tahu bahwa mereka terlalu banyak berharap dan memaksakan kehendaknya kepada anak.  Menurut penjelasan Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psikolog Anak dan Remaja, orang tua harus peka dan mulai berhenti terlalu banyak berharap dan memaksakan keinginan terutama dalam memberikan beban akademis pada anak adalah ketika anak mulai melakukan protes, ketika anak tidak menunjukkan kemajuan apapun atau bahkan lambat dan malah menunjukkan motivasi yang menurun.  Orang tua juga harus peka ketika anak terlihat tidak bahagia menjalaninya karena terpaksa dan menjauh dari orang tua karena merasa tidak nyaman dikritik terus atas segala hal yang sudah mereka coba lakukan dan usahakan dalam belajar. Tanda-tanda lainnya yang bisa dilihat pada anak yang merasa terbebani obsesi cendekiawan dari orang tuanya adalah seperti: 1. Anak terlihat murung dan selalu kelelahan. 2. Anak mulai tertutup pada orang tua. 3. Anak berperilaku seperti robot, hanya mengikuti kemauan dari orang tuanya saja. 4. Anak memberontak atau banyak protes. 5. Anak tidak terlihat menikmati aktivitas yang setengah hati. Jika orang tua terus menerus memberikan beban akademis dan obsesinya pada anak dengan alasan agar anak mendapatkan nilai dan juara yang bagus di sekolah agar sukses di masa depan tetapi kenyataannya saat ini sang anak butuh istirahat atau bahkan kelelahan dan kehabisan tenaga, lama-lama hal ini akan dapat berdampak buruk pada psikologisnya. Anak bisa saja minta ganti rugi sekolah, kehilangan kepercayaan diri, merasa kurang dihargai. Bahkan menurut Vera Itabiliana, dampak terburuknya adalah anak mengalami depresi. Terlalu fokus pada cendekiawan juga berisiko ada potensi lain dari anak yang luput atau tidak terlihat dari pandangan orang tua. Bisa saja potensi tersebut justru lebih bisa menampilkan masa depan yang cemerlang untuk sang anak di masa depan. Maka dari itu, orang tua tidak boleh hanya fokus pada akademik saja, tetapi juga perlu mengamati kelebihan anak di bidang non akademis seperti seni, olahraga, keterampilan, dan masih banyak lagi.  Sudah banyak kok contoh tokoh dan figur publik di Indonesia yang sukses dengan kesungguhan dan usahanya sesuai dengan minat yang ia miliki di luar bidang akademis.  Bukan berarti dengan nilai cendekiawan yang kurang bagus, nantinya si anak tidak akan berhasil dan sukses di masa depan. Tapi cobalah untuk memperhatikan baik-baik dan mulai melihat dari apa yang anak minati. Kemudian, berikan dukungan kepada anak untuk melakukan apa yang ia minati dengan sungguh-sungguh.

Edukasi

Apakah Anak Anda Siap Masuk SD? Lihat Tanda-Tandanya Disini

Banyak dari para orang tua saat ini tengah sibuk memfokuskan anaknya untuk bisa Calistung (Membaca, Menulis dan Menghitung) ketika ingin menyekolahkan anaknya ke Sekolah Dasar (SD). Padahal masuk sekolah itu berfungsi untuk mendapatkan pengajaran Calistung, bukan malah sebelum masuk ketahap tersebut sudah pandai Calistung. Tidak hanya itu para orang tua banyak  melupakan hal-hal yang perlu dibekali anak untuk bisa siap masuk ke lingkungan baru. Untuk itu para orang tua sekarang perlu memperhatikan tanda-tanda anak siap masuk SD. Mengutip dari Mommies Daily, berikut ini kriteria anak sudah siap masuk SD: 1. Mampu lepas dari orang tua selama beberapa jam. 2. Dapat menyebutkan namanya sendiri dan nama orang tuanya. 3. Dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan anak seusianya. 4. Dapat menggambar atau membuat coretan yang lebih bermakna. 5. Mampu mengontrol keseimbangan gerak. 6. Dapat memegang alat tulis dengan posisi tangan yang benar. 7. Dapat menikmati kegiatan yang dipilihnya sendiri. 8. Mampu berkonsentrasi saat melakukan satu kegiatan. 9. Mampu berbagi dengan temannya. 10.Memperlihatkan ketertarikan melalui pertanyaan yang lebih rumit.

Edukasi

Ini 6 Kemampuan Anak Siap Sekolah Dasar

Tahukah para orang tua kini sudah tidak perlu merisaukan anaknya ketika beranjak ke jenjang Sekolah Dasar (SD). Sudah tidak ada lagi kriteria mewajibkan anak telah menguasai Calistung (Membaca, Menulis  dan Menghitung) untuk bisa masuk ke SD. Karena Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencabut calistung menjadi kemampuan utama pada penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SD/MI. Banyak yang lebih harus diperhatikan bukan hanya fokus pada Calistung saja melainkan kemampuan-kemampuan lain. Sesuai penjelasan Dosen Psikologi Universitas Indonesia (UI) sekaligus psikolog anak, Lucia Royanto terdapat enam kemampuan yang diperlukan anak ketika masuk ke SD. Apa saja? Simak berikut ini. 1. Kemampuan Mengenal Agama dan Budi Pekerti Dengan cara mengenal agama dan budi pekerti, itu dimulai dengan cara yang sederhana, misalnya menyenangi diri sendiri. 2. Keterampilan Sosial dan Bahasa Hal ini berguna untuk anak  bisa berinteraksi secara baik maupun secara sehat. 3. Kematangan Emosi Saat Berkegiatan di Lingkungan Sekolah Kematangan emosi agar anak itu bisa berkegiatan di lingkungan belajar karena kita tahu ketika anak itu belajar, dia juga harus mempertahankan atensinya atau perhatiannya, dia juga harus bertahan pada tugas yang dibebankan pada dia, dan sebagainya. 4. Pengembangan Keterampilan Motorik dan Perawatan Diri Sendiri Guna untuk anak bisa mandiri saat masuk ke lingkungan SD. 5. Kematangan kognitif. Kematangan kognitif yang cukup dikuasai anak usia dini adalah literasi dasar, numerasi dasar, dan pemahaman tentang bagaimana dunia ini bekerja. 6. Kemampuan yang didasarkan pada aspek perkembangan dan profil pelajar Pancasila.